Dunia periklanan sedang menggeser narasinya dengan cara yang menarik perhatian semua generasi - dari generasi Boomers hingga Gen Z. Ini bukan sekadar plot twist; ini adalah musim yang benar-benar baru, mendefinisikan ulang peran dan aturan, mendorong batas-batas dari apa yang pernah kita yakini sebagai batas-batas periklanan, mulai dari kreatif, produksi hingga strategi dan pembelian media.

AI generatif mengacu pada sistem yang mampu menghasilkan konten baru yang orisinal, yang berasal dari pola dan struktur yang dipelajari dari data masukan. AI ini seperti mitra curah pendapat yang canggih yang mengambil ide awal, atau permintaan, sebagai titik awalnya. Kemudian, AI menggunakan pelatihan dari sejumlah besar data dan pola yang dipelajari untuk mengeksplorasi ide ini dengan cara yang beragam dan sering kali tak terduga.

AI membuka potensi kita untuk mengotomatisasi proses, membebaskan waktu dan energi kita untuk fokus pada tugas-tugas yang pada dasarnya adalah tugas manusia. Hal ini menggemakan kekuatan pendorong di balik revolusi industri pada abad ke-20, di mana otomatisasi merevolusi industri dan mendorong kemajuan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kita menyaksikan salah satu transformasi paling dramatis dari generasi kita, yang mampu menghasilkan produk atau model bisnis yang tidak akan pernah mungkin terjadi atau layak secara ekonomi di masa lalu.

Sementara 'Lovemarks: The Future Beyond Brands' pada awalnya dipuji sebagai buku panduan pemasaran revolusioner yang bertujuan untuk memanusiakan bisnis besar, buku ini mungkin merupakan salah satu buku yang paling merusak dalam tiga dekade terakhir. Buku ini mendorong konsep delusi 'cinta merek', mengalihkan fokus dari kebutuhan yang melekat pada merek untuk memberikan kegunaan, nilai, dan hiburan yang jelas.

Perspektif ini sangat relevan dengan periklanan digital, di mana interaktivitas dan kegunaan menjadi hal yang krusial. Iklan seharusnya tidak berusaha untuk membuat konsumen 'jatuh cinta'; sebaliknya, iklan harus meningkatkan pengalaman dan keterlibatan pengguna dengan menawarkan interaksi yang bermakna dan nilai yang tak terbantahkan.

Terlepas dari kemajuan AI dan potensi transformatifnya dalam periklanan, kami terus bergulat dengan gagasan salah kaprah yang disebarkan oleh Lovemarks. Dalam sebuah artikel baru-baru ini, mantan direktur kreatif agensi Paul Pateman berpendapat bahwa AI tidak akan pernah bisa menggantikan materi iklan karena kurangnya kapasitas emosional, khususnya cinta.

Sudut pandang ini, betapapun bagusnya, mengalihkan perhatian dari nilai nyata yang bisa dibawa AI ke dalam periklanan: efisiensi, ketepatan, dan wawasan yang dapat ditindaklanjuti. Sangat penting untuk menyadari bahwa AI tidak dirancang untuk menghilangkan kreativitas manusia, melainkan untuk meningkatkannya, sebuah nuansa yang sering hilang dalam diskusi tentang teknologi yang menggantikan peran manusia.

Di dunia di mana pesona visual Instagram dan daya tarik berirama TikTok bersaing untuk mendapatkan perhatian pengguna, mungkin terlihat tidak masuk akal untuk mengharapkan pengguna berhenti sejenak dan 'terlibat' dengan iklan bergambar. Hal ini memberi kita tantangan untuk memikirkan kembali dan mendefinisikan kembali apa yang bisa dilakukan oleh iklan display berdasarkan kerangka kerja pragmatis utilitas dan eksperimen. Dan di sinilah peran AI: mengidentifikasi kegunaan dan sudut pandang.

Model Bahasa Besar adalah kekuatan pendorong di balik revolusi konten baru, membedah dan menavigasi lapisan kreativitas yang rumit untuk mengubah 'kejeniusan' yang sulit dipahami menjadi proses yang dapat dicapai dan dapat diulang. Transformasi ini bukan untuk menggantikan kreativitas manusia, melainkan untuk meningkatkannya. Model AI generatif mendorong ide yang disiplin dan kejelasan strategis, membumikan kreativitas dalam kegunaan dan memberikan iklan yang memotong kebisingan dan benar-benar beresonansi dengan audiens.